Salambau, Keunikan Menangkap Ikan yang Bermigrasi di Sungai Kalaru (2)

Warga Desa Talaga, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, menangkap ikan di Sungai Kalaru dengan alat tangkap berupa Salambau. Tampak beberapa warga sedang membersihkan ikan hasil tangkapan.

Salambau, Keunikan Menangkap Ikan yang Bermigrasi di Sungai Kalaru (2)

KASONGAN - Keunikan alat tangkap yang terbuat dari tali (Salambau ) dibandingkan dengan alat tangkap ikan tradisional lainya, Salambau hanya dipasang pada saat tertentu atau memasuki musim kemarau dan tidak semua Nelayan memiliki karena termasuk alat tangkap Tradisional yang langka.

Dipasang pada musim kemarau karena saat itu ikan yang bertahun-tahun beranak pinak,  akan migrasi secara  massal akibat debit  air di danau mengalami pendangkalan. Surutnya air  memaksa  segerombolan ikan akan keluar melalui anak-anak sungai yang berhulu ke danau,  mengikuti arus air menuju ke tempat yang lebih dalam demi  mempertahankan kelangsungan hidupnya untuk berkembang-biak.

Di anak sungai itulah alat tangkap yang menyerupai kelambu terbalik itu dipasang, bagian ujungnya (hulu) dibuka selebar mungkin untuk menghalangi, supaya  ikan-ikan yang keluar langsung masuk ke Salambau.

Ukuran Salambau bervariasi, disesuaikan dengan panjang atau lebarnya anak sungai. Minimal panjangnya 50-an meter dan lebar 4 meter.

Menurut Lulung, salah satu warga Desa Talaga, lokasi Salambau yang berhulu ke Danau Ahim tersebut selalu dirawat dan dijaga  sejak puluhan tahun yang lalu oleh almarhum orangtuanya. Ia merupakan generasi kedua.

Sambil sesekali menyeruput secangkir kopi panas sebagai penghangat, Lulung menceritakan kondisi cuaca  mempengaruhi hasil tangkapan. Kalau cuacanya cerah, seharinya hasil tangkapan bisa mencapai 100 kilogram atau satu pikul. "Tapi kalau turun hujan, hasil tangkapan agak  berkurang, paling-paling 30 sampai 50 kilogram sehari," katanya sambil menikmati  sebatang rokok Read Bold kesukaannya.

Sebelum dijual ke pasar, sebagian dari puluhan kilogram ikan segar itu terlebih dahulu disiangi atau dibersihkan (disisik dan dibuang isi perut ikan), untuk diolah menjadi ikan kering.

Proses penyiangan ikan terbilang cepat karena dibantu oleh beberapa orang warga. Dengan imbalan jeruan atau kepala ikan, itu pun bagi yang mau.
Ternyata tradisi Handep (gotong-royong)  tersebut sudah berlangsung turun-temurun puluhan tahun yang lalu.

Sebuah pesan moral yang mengambarkan keakraban dan rasa kekerabatan masih terjalin dengan harmonis. Aturan tidak tertulis namun dipatuhi, sungguh luar biasa dan patut diacungi jempol.

Sekitar pukul 16.00 WIB, ikan-ikan yang masih dalam kondisi  segar (basah)  baru diantar ke pengepul. Nelayan tradisional tidak perlu takut hasil tangkapannya tidak akan laku, karena di Desa Talaga pengepul terbilang cukup banyak dan siap membeli hasil tangkapan berapa pun yang diperoleh.

Banyaknya para pengepul menjadi keuntungan bagi nelayan saat menjual hasil tangkapan nya, karena harga ikan tetap stabil. Harga ikan di tingkat pengepul untuk ikan segar (ikan dalam keadaan masih utuh), satu kilogram nya dihargai Rp 12.000 (1 kilogram minimal 2 ekor).

Sementara ikan yang akan diolah menjadi ikan kering (sudah disisik dan buang perutnya) dihargai Rp17,000.
"Bayangkan kalau dalam satu hari saja hasil tangkapan bisa mencapai 50 bahkan 100 kilogram (1 pikul) pada musim seperti ini. Berapa duit dan penghasilan yang mereka peroleh," kata Lulung, sembari mengucap Syukur kepada Yang Maha Kuasa. Itulah sepenggal kisah unik tentang warga Desa Talaga, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, yang mengais rezeki di Sungai Kalaru.
(Selesai)

Oleh:
M Effendi - wartawan baritaitah.co.id dengan wilayah liputan Kabupaten Katingan.

SERTIFIKAT
Smsi

Widget