Kisah Berto, Petani Muda dari Pendahara

Berto menyiapkan sayuran hasil panen untuk dijual ke pelanggan.

Kisah Berto, Petani Muda dari Pendahara

Bertorius, pemuda kelahiran Pendahara, Kabupaten Katingan, 12 November 29 tahun silam, patut dicontoh. Setelah lulus kuliah, Ia memilih jadi petani, pekerjaan yang jarang dilirik para sarjana. 

Pekerjaan itu dipilih dengan mantap, dari hasil permenungan mendalam. Banyak petani sukses di tanah Dayak, tanah leluhurnya. 

"Mengapa orang luar ikut program transmigrasi dan hanya mengelola pertanian, mereka berhasil," ungkapnya. Ia mengamati masyarakat Kalampangan, Kota Palangka Raya. Di sekitar rumah mertuanya, orang transmigrasi ini hanya bertani. 

Hasilnya, sudah punya rumah, mobil, truk. Bahkan, sudah dapat menghidupi keluarganya, sedangkan orang-orang lokal (Dayak).  

Pemikiran kritis ini mengalahkan rasa gengsi. Ia sudah menepiskannya jauh-jauh, tidak ada kata malu. Bahkan ia menegaskan akan malu bila menjadi sarjana yang tidak memberikan manfaat. 

Suami dari Rose Gloria Amann ini mengatakan, walaupun sarjana ia tidak gengsi menjadi petani. “Kalau saya jadi sarjana tidak membawa manfaat bagi orang lain, di situ saya malu dan saya gagal. Kalau saya memberikan dampak positif untuk desa dan diri sendiri, saya menjadi sarjana mandiri," tegas pria lulusan dari Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Palangka Raya (UPR) tahun 2018 itu. 

Tidak jauh dari penelitian yang dilakukannya saat di kampus, ia menerapkan sektor pertanian dapat menyerap karbon dalam skala kecil. “Penelitian saya tentang analisa degradasi dan deforestasi kabupaten Katingan, stok cadangan karbon dan emisi yang dikeluarkan di tingkat desa dan kecamatan dan seluruh kabupaten. Hal ini mendorong saya melakukan dalam skala kecil,” ungkapnya.

Lahan pertanian Berto menjadi tujuan penulis ketika mendatanginya, Kamis (9/07/2020) lalu. Lokasinya berada kelurahan Pendahara, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, Kabupaten Katingan. Kami hanya berjanji menggunakan Whatsapp. Saat yang sama Berto dalam perjalanan menuju lokasi bersama istrinya, kelahiran Desa Saka Kajang, Kabupaten Pulang Pisau. 

Namun alam tidak berpihak. Hujan yang disertai angin mengganggu perjalanan. Jalan menuju lahan menjadi licin menggunakan roda 4 dan roda 2. Kami pun memutuskan bertemu di kota Kasongan. Perjalanan Berto sedikit melambat karena istrinya sedang mengandung 6 bulan anak pertama, sehingga roda 4 yang digunakan hanya dipacu 50-60 km/ jam.

Menjelang pukul 4 sore, penulis bertemu dengan Ketua Kelompok Tani “Panatau Lewu Hijau” yang beranggotakan 33 orang. Walaupun muda, Berto dipilih secara aklamasi oleh anggota kelompoknya. Saat membuka lahan usaha, ia memperkerjakan anak-anak SMA di sekitar kampung dengan sistem bagi hasil 50:50. Dibayar setelah panen di lakukan. 

“Saya memulai sendiri dan mengolah lahan sejak tahun 2018,” terang pria muda ini. Tantangan yang ditemuinya di depan mata tidak memudarkan semangatnya. Saat membuka lahan di desa kelahirannya Pendahara. Pengolahan tanah masih manual, menggunakan cangkul dan pisau, belum melakukan pertanian modern seperti hand traktor, exavator. 

Pemuda (yang) petani ini beralamat tinggal di Jalan Tumbung Inge, RT 006 RW 002 Pendahara, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, mengawali dengan hasil pertanian berupa cabe, kacang panjang, dan mentimun. Dengan cermat ia melihat peluang pasar, proses panen yang cepat dan komiditi pertanian yang cepat laku ia kelola menggunakan konsep pertanian terpadu. Kacang panjang dan mentimun menjadi pilihan sebagai konsep pertanian jangka pendek. kedua komoditi ini memakan waktu sekitar 5 minggu hingga panen. Hasil dari penjualan ini ia belikan beras dan kebutuhan rumah tangga lainnya. “Saya menggunakan istilah tanaman power, seperti cabe untuk harga yang menggiurkan di pasaran,” jelas pria yang berani mencantumkan ‘pekerjaan lainnya’ pada kartu identitas yang ditujukkannya.

Bagaimana mengatasi pemasaran? Ia menjelaskan, dengan meningkatkan pelayanan dan pengantaran langsung ke pelanggan-pelanggan baru di pasar. Relasi baru diciptakan, relasi lama dipertahankan. Hasil yang didapatkan cukup menjanjikan. Setelah menikah ia bersama istri membeli rumah tahun 2020 dari hasil jualan sayur.

Berbagi Inspirasi Dari Petani Dan Manfaatkan Media Sosial 

Berto pernah dipercayakan menjadi operator cetak sawah di Desa Lempuyang, Kabupaten Kotawaringin Timur. Ia mendapatkan cerita yang menggugah tekadnya menjadi petani. Di sinilah ia bertemu seorang petani yang maju dan pandai berhitung bagaimana matematika dalam bertani.

Jawaban dari bincang-bincang ringan ini menguatkan motivasi yang telah lama terpendam. Berto memutuskan tidak lagi melamar pekerjaan di kantor. Walaupun keahliannya yang dimilikinya saat menjadi bagian pemetaan lahan di Fakultas Kehutanan. “Saya dulu idealis di kehutanan, saya dari orang kehutanan bagian pemetaan kok susah cari kerja, saya sempat ikut program TORA untuk pelepasan status kawasan saja jalan ke Lempuyang, Kotim arah Samuda,” cetus Berto.

Sebagai sosok petani muda, ia melengkapi ilmunya dengan membuka media sosial melalui telpon genggam yang dimilikinya. “Saya buka di youtube, ada sistem pengolahan amazon. Sistem yang saya gunakan Tera Petra, memanfaatkan bahan-bahan organik. Sistem ini setelah tebas tebang dan seresah tanaman telah dikumpulkan, kemudian ditutup menggunakan tanah kembali. Nyatanya ini berhasil," katanya. 

Ia belajar dan terus belajar, mengelola lahan dan panen. Menurutnya, satu hal pelajaran yang prinsip yaitu petani menderita dulu saat pembukaan lahan ke pengolahan lahan. “Hal ini terjadi, ada beberapa orang yang mundur saat memulai dan tidak mampu mengolah lahan awal selama 1 tahun. Kondisi rawa, apalagi tidak boleh buka lahan tanpa bakar,” ungkap Berto. 

Sekarang ia menikmati hasilnya. Tanah sudah jadi, siap tanam. Itu sudah jadi ATM. Selama proses 2 tahun tambal sulam, tebas sedikit dapat hasil. Berto melakukannya dalam 2 tahun cuman dapat setengah hektare. Pertanian yang berkonsep, bukan asal buka dan tanam. Per Juli 2020 ini luas lahan yang sudah dikelola mencapai setengah hektar, dan satu hektare telah dibersihkan menggunakan eksavator. Sisanya 4,5 hektare masih semak belukar.

Lahan yang belum diolah bersama istri tercinta yang mendukung, akan diolah lagi. Rose menanggapi ada perasaan bangga ia memiliki suami yang unik dan beda dari yang lain.  “Puji Tuhan,  orangtua mendukung apa yang kami lakukan. Bahkan, dukungan dan teman, saudara-saudara dari kampung juga banyak,” ungkap Rose dengan nada gembira.

Di akhir percakapan, Berto berharap akan ada lagi petani sarjana ataupun non sarjana yang mau bergelut di bidang petanian. “Kalau kita pelajari matematika pertanian itu cantik. Kemungkinan dibandingkan memiliki pekerjaan tetap setelah menjalani bidang pertanian lebih meningkat dibandingkan ada orang yang bekerja di kantor. Sebagai orang Dayak, kita harus banyak belajar dari orang-orang luar yang krisis lahan dan kritis pemikirannya, karena di sana punya modal tapi tidak punya lahan. Sedangkan kita disini punya lahan dan punya modal,” tutupnya. 

(Oleh: Rokhmond Onasis/tulisan ini sudah ditampilkan di akun Facebook Rokhman Onasis)

 

SERTIFIKAT
Smsi

Widget