Baram dan Anding, Jalur Keluhuran Suku Dayak yang Terlupakan

Baram dan Anding, Jalur Keluhuran Suku Dayak yang Terlupakan

Desa Mantuhe, 5 November 2017.

Saya berkesempatan untuk meneliti bagaimana teknik mengolah baram dan anding menjadi mimuman sakral. Suku bangsa Dayak menjaga tradisi mengolah minuman ini dan merupakan bagian dari kearifan lokal. Cara pengolahannya cukup unik. Bahan untuk membuat anding dan baram terdapat di sekitar tempat tinggal.

 

Minum baram bagian dari budaya, sudah ribuan tahun ada sejak Dayak ada di Borneo. Minuman ini digunakan saat acara adat, sebagai hidangan pembuka bagi tamu.  Menurut Batik atau yang biasa disapa Indu Gia, informen yang kami temui di Desa Mantuhe, anding dan baram adalah minuman jaman dulu.

 

Minuman ini disuguhkan hanya pada saat acara adat, seperti mendirikan rumah keramat, pendeng sahur mansana mendirikan rumah dan lainnya. Minuman baram dan anding sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan para Dewa Sangiang, dari hikayat Dayak di Desa Mantuhe. Anding itu memiliki tandak “danum arak raja danum arak bahari sedap bulan kambang ragi”. Tandak baram ini pujian untuk keagungan, sehingga yang minum baram tidak mabuk meskipun minum  5 liter baram.

 

Menurut kepercayaan Indu Gia, agar baram tidak busuk dan dimakan binatang, cukup simpan arang kayu dan kulit bambu tamiang tajam (sambilu tamiang) di atas tempat permentasi baram. Saat pengambilan air untuk baram, terlebih dulu baca mantra dengan beberapa pesan agar orang yg meminum baram tersebut tidak membuat onar atau silang sengketa ketika minum baram.

 

Air anding dan baram dicampur dengan akar kelapa dan akar pinang. Saat upacara ritual adat seperti balian, pendeng sahur dan acara perkawinan dan penyambutan pejabat yang datang, sambil didoakan lewat tandak agar dalam melaksanakan pekerjaan diberi kesehatan dan kebijaksanaan memimpin.

 

Ragi sebagai Bahan Pembuatan Baram

 

Bahan untuk pembuatan baram berasal dari ragi beras. Ukuran beras sebanyak 10 kg, merica 8 bungkus, jintan atau adas manis sekitar 5 bungkus, pala setengah bijim dan akar alang alang sekitar 2 ons untuk pemanis. Kemudian lengkuas 2 kg diiris tipis, daun kayu manis dan kulit 1 ikat. Kemudian ditumbuk bersama beras, setelah itu diayak halus menggunakan kalaya atau sarakai biar halus.

 

Bahan yang sudah ditumbuk diaduk sampai rata, kemudian campur beras dan air secukupnya sehingga memudahkan membentuk menjadi bulat. Hasil dari itu dihampar menggunakan amak lampit dilapisi sak beras.

 

Menurut Indu Gia, dari 10 kg beras bisa menghasilkan 150 sampai 180 biji ragi. Induk ragi yang sudah jadi didiamkan 2 malam, sesudah itu dikeringkan diterik matahari selama 10 hari untuk memperoleh hasil yang bagus. Uniknya ragi ini mengapung di permukaan air sampai berminggu minggu. Anding ini bisa ditambah air sampai 4 kali. Akan lebih enak dan gurih, dengan catatan setiap tambah airnya dikurangi dari beras 10 kg itu. Hasilnya 80 liter tuak masak dicampur gula sebanyak 14 kg, yang dilarutkan sampai cair dan setiap kali tambah airnya dikurang dari 80 liter menjadi 50 liter, biar tidak di tambah ragi hanya ditambah gula. Perbandingannya, 5 liter air sama dengan 1 kg gula dan rasanya tetap sama. Tuak yang baru itu langsung ditutup rapat sampai tidak mengeluarkan bau.

 

Untuk menambah pedas, ragi itu dibakar 5 biji kemudian dimasukan pada tong tempat pengolahan anding. Setelah itu tidak boleh dibuka sampai waktunya masak. Banyak orang yang bisa mengolah atau membuat anding dan baram, hanya saja kualitasnya belum bisa dijamin. Karena campurannya beda, ada yang rasanya masam, pahit dan ada juga airnya warna merah. Indu Gea sangat menjaga cita rasa, dan tidak mau membuat macam-macam campuran. Beras harus yang berkualitas bagus. Ragi yang bagus itu mengeluarkan bunga seperti kapas warna putih setelah merata baru di buka dan dikeringkan diatas terik matahari yang panasnya cukup.

 

Menurut Indu Dia, pembeli anding berasal dari beberapa desa terdekat.  Anding dan baram yang Ia buat tidak penah terputus penjualan.  Selama enam tahun ini sudah Ia membuat minuman tradisional ini. Hasilnya mampu membiayai anaknya untuk kuliah di universitas.  Pada saat tertentu, bisa saja sat hari Indu Dia memperoleh hingga Rp1 juta, seperti saat ada acara pernikahan, kematian dan acara lainnya yang bersifat menggundang masyarakat banyak. Harapan Indu Gia, keberadaan baram dan anding ini sebaiknya dilegalkan pemerintah. Selain sebagai warisan leluhur Suku Dayak, minuman ini dapat menopang ekonomi warga, seperti Indu Gia.

(Penulis: Dedi H Ruji)

 

SERTIFIKAT
Smsi

Widget