Presiden Jokowi bersama sejumlah Menteri saat tiba di lokasi food Estate di Kapuas, Kamis (9/7/2020).
Peneliti UPR Dukung Food Estate dengan Catatan
PALANGKA RAYA - Peneliti Camp Laboratorium Alam Hutan Gambut Universitas Palangka Raya, Kitso, menyatakan setuju dan mendukung rencana pemerintah pusat untuk menjadikan Kalimantan Tengah sebagai lokasi lumbung pangan nasional melalui program 'food estate'.
"Sepanjang di lahan yang kedalaman gambutnya kurang dari 50 sentimeter ya. Tapi, kalau lahan yang digunakan itu kedalaman gambutnya lebih dari 50 sentimeter, saya tidak setuju," kata Kitso, Kamis (9/7/2020).
Menurut Dosen di UPR itu, sekalipun 'food estate' yang digunakan nanti berada di bekas proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare, tetap tidak semuanya bisa dijadikan lokasi menanam padi, sebab ada lahan gambut di bekas PLG tersebut yang kedalamannya melebihi 50 sentimeter dan sangat berbahaya bagi lingkungan apabila digunakan untuk menanam padi.
Kitso mengatakan jika tetap memaksa untuk menggunakan lahan dengan kedalaman gambut lebih dari 50 sentimeter, bencana alam seperti yang terjadi pada 1996-1997 bakal terulang. Bencana kabut asap yang sangat pekat akibat kebakaran hutan dan lahan, terus menerus terjadi.
"Lahan yang gambutnya dalam juga sebenarnya tidak efektif sebagai lokasi menanam padi. Yang ada justru menimbulkan bencana kebakaran hutan. Itu kenapa saya tidak setuju food estate di Kalteng apabila lokasinya berada di lahan dengan kedalaman gambut lebih dari 50 sentimeter," ucapnya.
Pria kelahiran Kabupaten Kapuas itu menyatakan bahwa proyek PLG sejuta hektare di masa pemerintahan Presiden Soeharto, masih berdampak buruk sampai saat ini di Kalteng. Hal itu terlihat dari kebakaran hutan dan lahan di Kalteng mayoritas berada di Kabupaten Pulang Pisau maupun Kabupaten Kapuas, yang berdekatan di lokasi proyek PLG tersebut.
Dia mengatakan kondisi air di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas sampai saat ini pun masih mengandung asam. Alhasil, sejumlah jenis ikan, terutama udang, sudah sangat sulit ditemukan di sungai yang ada di dua kabupaten tersebut.
"Saya waktu kecil, mencari udang di sungai itu sangat gampang. Coba kalau sekarang, jangankan mendapatkannya, melihat saja sudah sulit. Ya akibat lahan yang gambutnya dalam dieksploitasi," kata Kitso.
Dia menyarankan pemerintah pusat lebih bijak memilih lahan yang akan dijadikan lokasi 'food estate' di Kalteng. Jangan sampai kesalahan eks PLG sejuta hektare terulang kembali di 'food estate'.
"Kalau tidak bijak, bukannya jadi lumbung pangan nasional, tapi jadi bencana bagi Kalteng maupun Indonesia," demikian Kitso. ant
"Sepanjang di lahan yang kedalaman gambutnya kurang dari 50 sentimeter ya. Tapi, kalau lahan yang digunakan itu kedalaman gambutnya lebih dari 50 sentimeter, saya tidak setuju," kata Kitso, Kamis (9/7/2020).
Menurut Dosen di UPR itu, sekalipun 'food estate' yang digunakan nanti berada di bekas proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare, tetap tidak semuanya bisa dijadikan lokasi menanam padi, sebab ada lahan gambut di bekas PLG tersebut yang kedalamannya melebihi 50 sentimeter dan sangat berbahaya bagi lingkungan apabila digunakan untuk menanam padi.
Kitso mengatakan jika tetap memaksa untuk menggunakan lahan dengan kedalaman gambut lebih dari 50 sentimeter, bencana alam seperti yang terjadi pada 1996-1997 bakal terulang. Bencana kabut asap yang sangat pekat akibat kebakaran hutan dan lahan, terus menerus terjadi.
"Lahan yang gambutnya dalam juga sebenarnya tidak efektif sebagai lokasi menanam padi. Yang ada justru menimbulkan bencana kebakaran hutan. Itu kenapa saya tidak setuju food estate di Kalteng apabila lokasinya berada di lahan dengan kedalaman gambut lebih dari 50 sentimeter," ucapnya.
Pria kelahiran Kabupaten Kapuas itu menyatakan bahwa proyek PLG sejuta hektare di masa pemerintahan Presiden Soeharto, masih berdampak buruk sampai saat ini di Kalteng. Hal itu terlihat dari kebakaran hutan dan lahan di Kalteng mayoritas berada di Kabupaten Pulang Pisau maupun Kabupaten Kapuas, yang berdekatan di lokasi proyek PLG tersebut.
Dia mengatakan kondisi air di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas sampai saat ini pun masih mengandung asam. Alhasil, sejumlah jenis ikan, terutama udang, sudah sangat sulit ditemukan di sungai yang ada di dua kabupaten tersebut.
"Saya waktu kecil, mencari udang di sungai itu sangat gampang. Coba kalau sekarang, jangankan mendapatkannya, melihat saja sudah sulit. Ya akibat lahan yang gambutnya dalam dieksploitasi," kata Kitso.
Dia menyarankan pemerintah pusat lebih bijak memilih lahan yang akan dijadikan lokasi 'food estate' di Kalteng. Jangan sampai kesalahan eks PLG sejuta hektare terulang kembali di 'food estate'.
"Kalau tidak bijak, bukannya jadi lumbung pangan nasional, tapi jadi bencana bagi Kalteng maupun Indonesia," demikian Kitso. ant
Wah, Artis Hana Hanifah dan Pengusaha A Sudah Sama-sama Bugil Saat Digerebek
Petinju Kalteng Eiger Lamandau Kembali Naik Ring 2 April
Nah, Bupati Kotim Supian Hadi Dipanggil KPK Sebagai Tersangka Kasus Tambang
Kisah Berto, Petani Muda dari Pendahara
Berhasil Juarai WBC, Eyger Lamandau Disambut Bak Pahlawan oleh Kapolda Kalteng
Denda Rp250 Ribu Menanti Warga Kalteng yang Tak Pakai Masker, Pergub Sudah Terbit
Pertengkaran di Ujung Malam Berakhir Kematian Tragis, Suami Gantung Diri Setelah Bunuh Istri
Pasien COVID-19 Membeludak, Ruang Perawatan Penuh, Pemko Palangka Raya Cari Tempat Penampungan Baru
Minuman Tradisional Kalteng Baram dan Arak Akan Dilegalkan
Jalan Provinsi Ruas Palangka Raya - Kurun Rusak, Ini Saran DPRD Gumas